KEWARGANEGARAAN GANDA
Di  era globalisasi seperti sekarang ini, jarak fisik bukan lagi menjadi  halangan untuk berinteraksi, bahkan hingga melewati batas-batas negara.  Hal ini tergambar jelas antara lain dengan semakin meningkatnya  kecenderungan perkawinan antar bangsa yang terjadi di seluruh dunia,  termasuk di Indonesia. Banyak negara yang menyikapi hal ini dengan  positif dan mengaplikasikannya ke dalam undang-undang/hukum yang  akomodatif terhadap gejala ini, walaupun ada pula yang pasif, namun bisa  dibilang hanya sedikit negara yang mengabaikan gejala ini. Bahkan  Indonesia dalam UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan telah  “mengantisipasi” adanya kemungkinan perkawinan campuran antar bangsa  ini.
Dalam  pasal 7 ayat 1 UU No. 62/1958, Perempuan WNA yang menikah dengan  laki-laki WNI dapat otomatis memperoleh kewarganegaraan Indonesia  apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya  berlangsung menyatakan keterangan untuk itu. Sayangnya, dalam UU yang  sama tidak ada pasal yang mengatur tentang bagaimana bila laki-laki WNA  menikah dengan perempuan WNI. Ini salah satu saja contoh bias gender. Beberapa masalah lain yang umum dihadapi adalah:
•  Perempuan WNI yang menikah dengan WNA tidak dapat memberikan  kewarganegaraan Indonesia kepada suaminya bahkan juga tidak kepada  anak-anak yang dilahirkannya!
•  Perempuan WNI tidak dapat mensponsori suaminya untuk tinggal di  Indonesia. Suami harus memperoleh sponsor dari perusahaan di mana ia  dipekerjakan.
• Bila anak sudah dianggap dewasa Ibu WNI tidak dapat mensponsori anak-anak tersebut untuk tinggal di Indonesia.
•  Perempuan WNI dapat mensponsori anak-anaknya yang WNA yang masih di  bawah umur dengan kekecualian bahwa Bapak anak-anak tersebut tidak  tinggal di Indonesia atau tidak mempunyai ITAS, atau orangtua anak-anak  tersebut telah bercerai dan anak-anak ada dalam perwalian Ibu.
•  Suami WNA yang kehilangan pekerjaannya di Indonesia bila masih ingin  hidup dalam satu rumah, maka perempuan WNI dan anak-anaknya harus angkat  kaki dari bumi Indonesia dan “pulang” ke negara asal suaminya.
•  Ibu/istri WNI jika meninggal tidak dapat mewariskan harta berbentuk  rumah/tanah yang dimilikinya kepada anak dan suaminya yang berstatus WNA  dan keluarga yang baru kehilangan Ibu/istri ini harus rela menjual  rumah mereka paling lambat setahun sejak kepergian Ibu/Istri.
Bukan  hanya perempuan WNI, perempuan WNA yang menikah dengan laki-laki WNI  juga hidup dalam dilema. Alasan mereka tinggal di Indonesia adalah  karena mengikuti suami, melahirkan anak-anak dan membesarkan mereka  sebagaimana Ibu-Ibu lain. Padahal, kebanyakan dari mereka di negaranya  mempunyai karir dan ingin tetap bekerja guna membantu ekonomi keluarga  tapi hal “sederhana” itu tidak bisa terlaksana di Indonesia.
Beberapa masalah yang dialami perempuan WNA antara lain:
•  Sebagai WNA untuk bekerja membutuhkan perijinan yang berbelit dan salah  satunya adalah harus seorang ahli (expert) di bidangnya. Belum lagi  biaya yang mahal untuk memperoleh ijin itu.
•  Untuk tinggal di Indonesia perempuan ini membutuhkan sponsor dari suami.  Bila suami yang WNI meninggal atau perkawinan putus si istri otomatis  kehilangan sponsor untuk dapat tinggal di Indonesia.
•  Dalam keadaan di mana anak-anak (WNI karena Bapaknya WNI) masih di bawah  umur situasi menjadi semakin rumit. Si anak masih terlalu kecil untuk  menjadi sponsor bagi Ibunya dan sebaliknya masih memerlukan  bimbingan/asuhan ibunya padahal dengan meninggalnya kepala keluarga maka  hilang pula penghasilan keluarga tersebut sementara si Ibu tidak dapat  bekerja.
•  Ibu WNA ini yang masih dirundung malang terpaksa harus menjual warisan  rumah/tanah yang diwariskan kepadanya oleh suaminya setahun setelah  kepergian suaminya karena menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan  Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) seorang WNA tidak diperbolehkan  memiliki rumah/bangunan (hak milik). Bila terpaksa si Ibu harus pulang  ke negara asalnya membawa anak-anaknya yang WNI ke suatu negara dengan  kebudayaan yang berbeda dan memulai semua dari awal. Kalau tidak maka  keluarga ini harus tergantung kepada keluarga besar suami.
Selanjutnya,  mari kita lihat beberapa pasal dalam deklarasi PBB tentang hak asasi  manusia yang telah diadopsi juga oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun  1999 yang niscaya sangat membantu bagi kondisi perkawinan antar bangsa,  bila saja pasal tersebut dapat direalisasikan secara nyata.
• Pasal 1, setiap orang dilahirkan sebagai manusia bebas dan mempunyai hak dan harga diri yang setara.
•  Pasal 16, laki-laki dan perempuan dewasa tanpa batasan ras,  kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga.  Mereka berhak untuk memperoleh persamaan hak seperti saat menikah,  selama pernikahan atau bila perkawinan terputus. Perkawinan bisa terjadi  hanya bila dilakukan oleh sepasang manusia yang sadar dan bebas.  Keluarga adalah kelompok alamiah dan fundamental di tatanan sosial dan  berhak atas perlindungan dari lingkungan sosialnya dan negara.
•  Pasal 23, setiap orang berhak untuk bekerja, untuk bebas menentukan  pekerjaan dstnya. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh upah  yang sama untuk hasil kerja yang sama.
Di  dalam era globalisasi ini di mana persaingan sumber daya manusia semakin  meruncing dengan diberlakukannya -walaupun secara bertahap- penghapusan  batas-batas negara untuk bekerja (misalnya AFTA), Indonesia justru  membiarkan “sumber daya manusianya” yang bermutu hengkang ke negara lain  hanya karena mereka “setengah” Indonesia dan diperlakukan sebagai  layaknya warga negara asing. Padahal, sebagian besar dari mereka  dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia dengan budaya Indonesia yang  mengalir deras dan sudah menganggap Indonesia sebagai kampung halaman
Oleh  karena itu, Bila seorang gadis Jerman menikah dengan lelaki Bali,  misalnya, lalu anak mereka lahir di Jerman, maka sangat mungkin anak  mereka itu mendapatkan dua kewarganegaraan (Jerman, karena lahir di  Jerman, dan Indonesia, karena ayahnya seorang warganegara Indonesia).  Anak itu disebut memiliki kewarganegaraan ganda. Hal itu nantinya akan  dimungkinkan bila RUU Kewarganegaraan disahkan. Pasal 3 ayat (1) RUU itu  menyatakan, ”Anak WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli  akan mendapatkan status kewarganegaraan ganda. Untuk kepastian bahwa ia  mempertahankan kewarganegaraan RI maka orangtua anak tersebut harus  menyatakan bahwa anak tersebut tetap berstatus WNI.”
Artikel ini ditulis oleh Fasokhah dan Ria Sari sebagai tugas mata kuliah Kewarganegaraan.
Bahan artikel ini diambil dari : 
- Tjakrawinata, dewi.2005.koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Lead Sector ruu Kewarganegaraan JKP3.19 November 2005.cilember
 - artikel-artikel lain yang terkait dengan bahasan Kewarganegaraan
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar